Skip to content

Cerita Pendek | Rasa

Cerita masa SD kadang diingat, kadang juga dilupakan. Karena memang daya ingat anak SD lebih banyak untuk bermain dan belajar. Kenangan tentang rasa akan tetap tinggal ditempat terbaik dalam hati.

Cinta. Mungkin terdengar aneh ketika anak SD sudah mengenal apa arti cinta dan menceritakan dengan yakin kepada ibunya. Kalau cinta sebatas kasih sayang kepada orang tua, teman dan sahabat, itu wajar untuk anak dibawah 10 tahun. Tapi, ini cukup mengagetkan ketika anak kelas 2 SD menceritakan kepada ibunya dengan lugas dan transparan kalau dia “cinta” sama teman sekelasnya.

“Bu, aku suka sama Fahmi”.

“Iya, memang Fahmi anak yang baik. Kamu beruntung bisa sebangku sama dia”.

“Iya bu. Aku cinta sama dia dan aku mau nikah sama Fahmi”.

“…………………… AYAAAAAAHHHHHHHHHH ………………”

Checi …

Terlihat sebuah SD dengan halaman yang cukup luas namun gersang. Hanya ada 2 pohon besar kering di area gerbang sekolah. Tidak sampai 20 dahan menggantung dikedua pohon tersebut. Sehingga, panas terik matahari dapat leluasa langsung menyinari anak-anak SD yang sedang beraktifitas di halaman sekolah. Apabila, pohon itu digunakan sebagai aksesoris sekolah, postur batang dan akarnya pun tidak cukup manis bahkan dapat dikatakan sangat menyedihkan.

Namun, 2 pohon menyedihkan itu merupakan saksi bisu kisah “cinta”ku di masa SD.

Aku Chechi. Sekitar 30 tahun yang lalu, setiap pagi aku dengan semangat melangkah masuk ke halaman SD ini dengan tas ransel pink di punggung dan botol minum dengan warna senada di bahu kiriku. Rasa senang dan bahagia aku rasakan, bukan karena aku ingin belajar giat. Tapi, karena aku tidak sabar untuk bertemu dengan teman-teman sekelasku untuk bermain, ngobrol, ataupun tidak melakukan apa-apa. “Asal bersama-sama”, itu motto-ku.

Aku memiliki 2 orang sahabat dikelas, Tina dan Tini. Kalau lihat dari namanya, sudah pasti mereka anak kembar. Kami selalu menghabiskan waktu bersama-sama, mulai dari berbaris sebelum masuk ke dalam kelas, makan bekal di waktu istirahat, berolahraga sampai dengan menunggu angkot dan bajaj sepulang sekolah. Kami sudah bersama-sama sejak kami menduduki TK nol kecil.

Selain si kembar, aku punya sahabat dari kelas yang berbeda. Fahmi namanya. Aku mengenal dia karena dia anak teman ibuku. Jadi, aku sering bertemu Fahmi ketika ibuku arisan. Dan dilanjutkan pertemuan di sekolah SD bernuansa gersang. Berawal kami tidak pernah bertemu sampai dengan pulang bersama-sama.

Fahmi …

Seorang anak laki-laki dengan postur tubuh kurus, ceking dan tinggi itu lah yang selalu diintip oleh Chechi setiap istirahat sekolah. Kacamata dengan frame hitam yang cukup tebal dan kulit berwarna coklat muda, memberi kesan tidak terlupakan bagi Checi. Dia biasa dipanggil dengan Fahmi. Seorang anak yang kalem dan jarang ngobrol tapi banyak sekali anak-anak SD menaruh perhatian kepadanya.

Awalnya, Chechi tidak pernah sadar akan keberadaan Fahmi di sekolahnya. Ternyata, mereka sudah bersama-sama sejak TK. Chechi baru tahu ketika dia bertemu Fahmi di rumahnya waktu acara arisan ibunya dan mama Fahmi. Pertemuan itu mememberikan keberanian Chechi menegor Fahmi di sekolah dan akhirnya mereka sering menghabiskan waktu bersama-sama. Mereka menjadi sepasang sahabat.

Fahmi memang tidak memiliki teman yang banyak, bahkan dia tidak memiliki teman dekat di kelasnya. Dia termasuk golongan anak pemalu. Dengan alasan itu lah setiap istirahat, dia selalu bergabung dengan Chechi, Tini dan Tina untuk bermain dan makan siang bersama-sama.

20 tahun berikutnya …

Persahabatan aku dan Fahmi tidak berhenti meskipun kami harus berkuliah di kota yang berbeda. Aku kuliah di Surabaya dan Fahmi ikut ayahnya dinas di Amerika. Bertahun-tahun kami tidak bertemu. Percakapan kami hanya sebatas telp, email dan sms. Dengan itu pun, kami sudah sangat senang.

Kami memiliki pasangan masing-masing, malah pernah kami makan bersama ketika Fahmi sedang liburan ke Surabaya. Pacarku adalah teman kuliahku di Surabaya, sedangkan pacar Fahmi adalah teman kerja paruh waktu di Amerika. Persahabatan aku dan Fahmi berkembang menjadi persahabatan 4 orang.

Persahabatan itu sempat terhalang restu dari pacarku yang merasa keberatan karena aku terlalu dekat dengan Fahmi. Karena kami akan melangsungkan pernikahan dalam waktu 3 bulan, aku mengikuti keinginan calon suamiku. Aku dan Fahmi tidak sedekat dulu lagi. Bahkan, untuk berbicara saja membutuhkan waktu 1 bulan hanya untuk ngobrol selama tidak lebih dari 10 menit. Itu pun atas izin calon suami.

Rasa sedih dan kehilangan yang aku rasakan. Meskipun aku memiliki calon suami yang selalu berada bersamaku kapanpun aku mau tapi aku merasa kehilangan seorang sahabat. Seseorang yang dapat dikatakan 1 nyawa dan 1 rasa. Seseorang tempat aku berkeluh kesah sejak SD sampai menjelang aku nikah. Seseorang yang mengenal aku apa adanya dan tidak perlu jaim. Tapi, hidup harus memilih. Aku memilih Dirga sebagai calon suami aku. Dirga orang yang sabar dan mengayomi aku. Tapi, dia bukan Fahmi …

Pecah …

Seketika aku berasa hancur ketika mendengar Fahmi harus berpisah dari kekasihnya. Mereka sudah menjalani hubungan cukup lama. Rasa hancur ini terasa hancur karena aku sudah menikah dengan Dirga dan kami sedang menjalani program kehamilan.

Rasa bingung pun seketika muncul, karena rasa cinta dan sayang kepada Fahmi terasa lebih terasa didalam hati. Rasa ingin berada disampingnya ketika menghadapi kesedihan dan kekecewaan kerap hadir dalam diriku. Dan semua rasa itu tertutup dengan rasa salahku kepada Dirga. Seorang suami yang sangat baik dan sabar. Aku tidak akan tega untuk mengecewakan dia. Semua rasa berkecamuk, membuatku ingin lari ke pantai dan teriak sekencang-kencangnya.

Aku hanya bisa menghibur Fahmi dengan menelfonnya, itu pun hanya 15 menit karena aku menghargai Dirga. Bercerita dalam waktu yang singkat menanamkan rasa yang lebih dalam lagi dalam hatiku. Aku tetap bertahan menahan rasa. Aku tetap bertujuan untuk menghibur seorang sahabat, meskipun aku tidak bisa untuk menuntunnya bangkit dari keterpurukkan dan kesedihan. Aku merasa itu sudah lebih dari cukup.

Rasa itu ada …

Photo Doc. unsplash.com
Giang Vu @junvutruong

Aku masih berdiri memandangi kedua pohon kering yang menurutku tidak ada perubahan, bahkan semakin kering, kusam dan terlihat letih. Tapi, pohon itu selalu tersenyum menatap setiap anak yang berlalu lalang di halaman sekolah dan tempat jajan persis depan pintu gerbang. Senyuman dari setiap ranting yang penuh arti. Arti akan kebahagiaan, menenangkan dan memberikan motivasi. Dan saat ini, pohon ini tersenyum manis kepadaku. Senyuman yang penuh dengan kehangatan dan rasa bangga akan hadirnya kembali cinta dan rasa di tempat terbaik di hatiku.

Aku dan Dirga memutuskan untuk berpisah beberapa waktu yang lalu. Perpisahan tanpa rasa dendam tapi perpisahan untuk menempatkan hati kami masing-masing di tempat yang lebih nyaman. Kami belum memiliki keturunan. Hancur sudah pasti. Sedih, apalagi. Tapi kami berkomitmen untuk saling menjaga dan mendukung di setiap langkah kehidupan kami meskipun dijalurnya masing-masing. Kami menyadari akan rasa. Kadang, rasa itu tidak terasa sampai sesuai terjadi yang tidak semestinya. Alam sudah memberikan signal melalui rasa, tapi seringnya rasa itu berlalu bersamaan dengan hembusan angin.

Berbulan – bulan aku menyendiri di Ubud, Bali. Aku mencari rasa yang pernah hadir di jiwaku. Rasa yang pernah membuatku bahagia, senang, semangat, bertambah pintar secara otomatis, sehat, bahkan aku bisa tiba-tiba lucu atau konyol. Rasa nyaman, rasa bahagia, rasa sayang dan …….. rasa cinta. Aku berusaha mengembalikan rasa itu dalam ketenangan ketika meditasi di kawasan Ubud.

Tenang …… dan tiba-tiba aku merasa ngantuk dan ketiduran entah berapa jam. Tiba-tiba ada seorang pria bule membangunkan aku, aku terkejut tapi lebih terkejut lagi ketika aku melihat ada seorang pria sedang bersiap-siap untuk mengikuti kelas meditasi. Pria Indonesia dengan bahasa Inggris yang super lancar.

Bengong …..

Rasa tidak percaya …..

“Fahmi!!!!!”

“Chechi? Ngapain loe ada disini?”

“Ngepel, side job disini”

Kami tertawa bahagia, menghembuskan rasa di hati kami masing-masing tanpa harus berucap apapun. Kami mengobrol di cafe tempat meditasi itu ber jam – jam ….

Dan …

Disinilah aku. Menghadap gerbang lawas berwarna hitam, duduk di sebelah bapak jual es kelapa dan gorengan. Tentu saja aku sambil makan gorengan yang entah minyaknya sudah berapa kali pakai. Enak dan lezat plus sudah pasti menambah antibody. Tatapanku tidak lepas dari gerbang hitam itu dan berharap gerbang itu tidak berubah warna.

“Neng, nunggu siapa neng?”, akhirnya bapak es kelapa tidak tahan untuk menegur aku. Mungkin dia bingung kenapa aku hanya duduk menatap gerbang.

“Tidak menunggu siapa-siapa pak?”, jawabku sambil mengaduk es kelapa yang sedari tadi sudah aku pegang. Salah tingkat, lebih tepatnya.

“Oh, inget masa lalu ya neng?”

“….” hanya senyum yang dapat aku berikan kepada bapak es kelapa yang baik hati ini dan anggukan kecil.

“Masa lalu ga usah diingat-ingat neng. Itu ibarat tes kehidupan. Kalau bagus, Alhamdulillah berarti kita lulus. Kalau jelek, berarti ga perlu diingat-ingat lagi neng.”

Ya, benar kata bapak itu. Masa laluku terkait dengan rasa. Sebuah rasa yang tertutup dengan gengsi untuk diutarakan. Sebuah rasa yang aku pikir hanya rasa yang hanya anak kecil miliki dan akan hilang seiring berjalannya waktu. Rasa itu terpendam menyatu dengan air dan darah dalam tubuhku menjadi tidak berasa. Hingga, sampai pada suatu waktu bahwa rasa itu sudah hilang karena waktunya pun sudah telat.

Aku melanjutkan perjalananku ke sebuat kompleks pemakaman disebelah sekolah SD untuk berziarah. Aku menatap nisan sambil tersenyum dan mengucapkan “Assalamualaikum Fahmi, aku datang.”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: